Gelombang Reformasi Mesir 2011-2013


 Ringkasan Bacaan Buku “Tahrir Square” yang ditulis oleh seorang jurnalis Kompas, Bapak Trias Kuncahyono

 

Bertahun-tahun silam, sudah lama sekali, mungkin saat itu saya masih santri baru di pondok. Saya ingat pernah membaca koran yang digelar di kaca mading Madrasah Diniyah. Koran itu memberitakan seorang pemuda asal Tunis, Tunisia yang melakukan aksi bakar diri karena menuntut kesejahteraan hidup sebagai warga negara. Pemuda itu bernama Mohammad Bouazizi. Ternyata, aksi Bouazizi ini memberikan dampak besar terhadap warga negara Tunisia. Awalnya mereka hanya menuntut kesejahteraan hidup saja, namun berikutnya mereka melakukan demonstrasi besar-besaran agar Presiden Ben Ali, lengser dari jabatannya.

Gelombang reformasi Tunisia pun sampai ke negara tetangganya, Mesir. Saat itu, pada tanggal 6 Juni 2010, seorang pemuda Alexandria bernama Khaleed Saeed tewas karena dipukuli oleh dua orang polisi. Khaleed menjadi incaran polisi karena ia mengunggah sebuah video yang memperlihatkan perwira polisi. Kronologisnya, Khaleed yang jarang keluar rumah itu pergi ke warnet pada malam hari karena internet di apartemennya mati. Dia pergi ke sebuah warnet di kawasan Cleopatra. Tiba-tiba ada dua orang polisi yang tanpa seragam dan tanpa surat perintah menemuinya dan kemudian memukulinya sampai tewas. Banyak saksi yang mengatakan bahwa saat itu Khaleed meringis kesakitan seraya berkata, “Mati aku, mati aku”. Kejadian ini membuat penduduk Mesir geram, pola warga negara Tunisia diulang disini. Awalnya mereka menuntut keadilan, namun kemudian mereka melakukan demonstrasi besar-besaran di Tahrir Square, Kairo, selama 18 hari terhitung sejak tanggal 25 Januari 2011 sampai 11 Februari 2011 untuk melengserkan pemimpin diktator mereka, Hosni Mubarak.

30 tahun Mubarak mencengkram Mesir dengan kuku-kukunya. Kekuasaannya kokoh seakan-akan tak akan tumbang. Namun akhirnya rezim otoriternya kalah oleh rakyat Mesir. Mubarak adalah Presiden ke-4 Republik Mesir yang menjabat setelah Presiden Naguib, Presiden Nasser, dan Presiden Anwar Sadat. Pada tahun 1952, Gamal Abdel Nasser menjadi pahlawan karena berhasil menumbangkan sistem monarki di Mesir dan melengserkan raja terakhirnya, Raja Farouk. Setelah itu, Mesir menjadi Negara Republik. Namun apa yang terjadi? Para presiden yang kesemuanya berasal dari organisasi militer itu menjadi diktator. Mesir tidak murni menjadi Negara Demokrasi, namun sistem yang dipakai oleh para pemimpinnya adalah “repumonarchy” alias Republik-Monarki. Mereka berkuasa begitu lama, menerapkan sistem monarki namun berjubah demokrasi. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela. Pada akhirnya, tanggal 11 Februari 2010 menjadi akhir dari kekuasaan rezim Mubarak. Mubarak resmi mengundurkan diri dengan pengumuman yang dibacakan oleh wakil presidennya, Omar Suleiman.

Hal yang sama pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1998, dimana para mahasiswa menuntut reformasi orde baru dan melengserkan Presiden Soeharto. Namun perbedaannya adalah, Presiden Soeharto mengumumkan pengundurannya sendiri, tanpa diwakili oleh siapapun bahkan oleh Wapres B.J. Habibie.  

Saat pembacaan pidato singkat bermakna berakhirnya rezim Mubarak itu, euforia terdengar di Tahrir Square. Masyarakat Mesir bersorak-sorai menyambut tumbangnya rezim otoriter. Keesokan harinya, adalah hari baru di Mesir. Hari yang diharapkan masyarakat menjadi awal baru untuk Mesir yang lebih baik. Their hopes bloom like flowers in spring. Mereka harap negara itu menjadi negara demokratik yang mendengar suara para rakyat.

Pada tanggal 30 Juni 2012, Muhammad Mursi terpilih menjadi Presiden Mesir selanjutnya. Dia dipuji seluruh dunia karena berhasil membuat Israel-Palestina menandatangani gencatan senjata. Namun ternyata kemudian, ia mendapatkan protes keras dari para warganya karena mengeluarkan dekrit presiden yang akan menguatkan kekuasaannya. Apa yang telah diputuskan presiden tidak dapat diganggu gugat. Masyarakat marah, merasa diberi harapan palsu. Mursi adalah “Fir’aun” baru, seorang diktator baru yang akan kembali menerapkan sistem “repumonarchy”. Demo kembali dilakukan di Tahrir Square dan Istana Presiden Heliopolis pada Desember 2012. Saat itu Mursi baru setengah tahun menjabat sebagai presiden. Di belakang Mursi ada Ikhwanul Muslimin dan Kelompok Salafi yang mendukungnya. Saat itu, ada dua kubu yakni kubu agamis dan kubu anti-Mursi yang disebut kubu liberal-sekuler. Sebenarnya, saya kurang setuju dengan penyebutan kubu liberal-sekuler ini. Mereka disebut demikian karena menginginkan Mesir menjadi negara Republik, sedangkan Ikhwanul Muslimin dan Salafi menginginkan syari’at Islam diterapkan dalam aturan kenegaraan.

Beberapa masyarakat demonstran yang sempat diwawancara oleh penulis, menyatakan bahwa dekrit Presiden ini tidak bisa diterima. Mereka tidak ingin Mesir menjadi seperti Afghanistan. Mereka tidak ingin perempuan dibatasi dalam kehidupan pendidikan dan sosial. Mereka ingin negara dengan sistem demokrasi yang mendukung Hak Asasi Manusia, bukan malah menungkung mereka dalam ketakutan seperti sebelum-sebelumnya. Negara adalah milik rakyat. Rakyat yang berbeda-beda baik agama maupun etnisnya. Perbedaan adalah keniscayaan, dan meskipun berbeda namun tetap harus saling rukun dan damai. Masyarakat tidak menginginkan Mesir menjadi negara yang intoleran. Seluruh warga negara adalah satu kesatuan yang sama-sama wajib menjaga keamanan negara tersebut tanpa memandang perbedaan suku dan agama. Pernah suatu ketika di Tahrir Square, ketika masyarakat muslim melakukan shalat, saudara mereka yang beragama Nasrani menjaga mereka agar tidak dicelakai oleh orang-orang bayaran rezim yang ingin mengacau. Perbedaan tidak bisa menjadi sebab permusuhan.

Pada akhirnya, Mursi berhasil dilengserkan oleh kudeta militer Jenderal Abdel Fattah Al-Sisi pada tanggal 30 Juni 2013. Mursi adalah presiden yang dipilih oleh rakyat, dan kemudian dituntut mudur oleh rakyat. 


Sumber Gambar: wikipedia.org

Komentar