Kisah Memilukan Abdullah bin Zubayr bin Awwam, Pembela Kebenaran yang Berperang Sendirian

Setelah berakhirnya masa kepemerintahan Muawiyah II (putra dari Yazid bin Muawiyah, cucu dari Muawiyah bin Abi Sufyan) karena terbunuh setelah 3 bulan menjabat, ada konflik yang memanas antara Bani Umayyah dan Abdullah bin Zubayr. Hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk Syam membaiat Abdullah, namun Marwan bin Hakam menolaknya. Sebenarnya Marwan sudah ingin membaiat Abdullah bin Zubair sebagai khalifah, namun berkat bujukan Ubaydillah bin Thariq untuk tidak membaiat Abdullah, maka keinginan tersebut gagal. Ubaydillah bin Thariq adalah orang yang telah menyembelih Sayyiduna Husain bin Ali RA di Padang Karbala. Jika sampai Abdullah bin Zubair menjadi khalifah, maka ia khawatir hukum qisas akan dijatuhkan kepadanya. Oleh sebab itulah ia membujuk Marwan untuk tidak membaiat Abdullah bin Zubair sebagai khalifah sehingga pecahlah konflik diantara dua kubu.
Setelah Marwan bin Hakam meninggal dunia, penduduk Syam membaiat putranya yakni Abdul Malik bin Marwan sebagai khalifah. Pertikaian antara penduduk Syam dan Abdullah terus berlanjut. Abdul Malik berhasil menguasai seluruh kawasan Irak.
Ada seorang gubernur Irak bernama Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Suatu ketika ia diutus oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan (Khalifah ke-4 Dinasti Umayyah) untuk mengepung Abdullah bin Zubayr bin Awwam di Makkah. Pengepungan ini terjadi pada tahun 71 H, setelah terjadi peperangan antara pendukung Abdullah bin Zubayr dan pendukung Abdul Malik bin Marwan.
Pengepungan itu terjadi sekian lama, Abdullah dikepung bersama dengan para pendukungnya, tidak diberi pasokan logistik, dilempari manjanik, hingga satu per satu pendukung Abdullan mulai meninggalkannya. Pada akhirnya, hanya tersisa beliau bersama sang ibu, Asma’ namanya. Kendati demikian, sang ibu tetap menyemangati Abdullah untuk terus maju.
Manjanik pasukan Hajjaj mengenai dinding Ka’bah sehigga menjadi miring. Pada saat pengepungan itu juga Abdullah memperbaiki Ka’bah dan menyempurnakannya seperti yang diinginkan Rasulullah SAW.
Suatu ketika, Abdullah bertanya kepada ibunya mengenai keadaannya saat itu. Tidak ada pendukung, hanya segelintir orang yang mungkin tidak akan bersabar lebih lama lagi. Sang ibu terus mendorong keberaniannya. Mati jauh lebih terhormat daripada hidup dalam permainan Bani Umayyah yang menawarkan kemewahan dunia.
Akhirnya, Abdullah bin Zubayr maju berperang sendirian. Ia bersenandung di saat terakhirnya. Sebuah syair singkat memilukan sebagai persembahan bagi sang ibunda
Asma’, wahai Asma’, jangan menangisiku
Takkan ada yang tertinggal selain kemuliaan dan agamaku
Dan pedang yang tergenggam di tangan kananku
Abdullah bin Zubair pun terbunuh pada akhirnya, para penduduk Syam bertakbir atas kematiannya. Melihat hal ini Abdullah bin Umar berkomentar, “yang bertakbir karena kelahirannya (Abdullah bin Zubayr) lebih baik daripada yang bertakbir karena kematiannya”.
Abdullah bin Zubayr disalib oleh Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi di sebuah tebing. Setelah itu Al-Hajjaj memerintahkan seseorang untuk menyerahkan jasab Abdullah kepada ibunya, Asma’. Asma’ menolak sehingga Al-Hajjaj menemuinya.
Asma’ menganggap bahwa Al-Hajjaj adalah musuh Allah. Dia berkata padanya, “aku melihatmu telah menghancurkan dunia anakku, namun anakku telah menghancurkan akhiratmu. Perbuatan Al-Hajjaj didengar oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan dan beliau mengingkarinya. Khalifah memerintahkan Al-Hajjaj untuk memperlakukan Asma’ dengan baik.
Al-Hajjaj berkata, “Wahai ibu, Amirul Mukminin telah memerintahkanku untuk berbuat baik kepadamu? Apa yang engkau butuhkan, wahai ibu?”
Asma’ menjawab, “aku bukan ibumu. Aku adalah ibu seorang yang tersalib di tebing. Aku tidak butuh apa-apa”.
Setelah terbunuhnya Abdullah bin Zubayr, tampuk kekuasaan sepenuhnya dipegang oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan pada tahun 73 H. 
Sumber Gambar: www.moslemobsession.com
Daftar Bacaan: Buku Pintar Sejarah Islam oleh Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh
x

Komentar